
Quote:
Annabeth: It's a Chariot of Damnation.
Grover: Looks like a New York City cab.
Annabeth: Same difference.
Nice-to-know:
Meskipun fakta film ini disyuting dengan kamera Super 35, pernyataan "Filmed
in Panavision" masih tertera di kredit akhir.
Cast:
Logan Lerman sebagai Percy Jackson
Alexandra Daddario sebagai Annabeth
Douglas Smith sebagai Tyson
Leven Rambin sebagai Clarisse
Brandon T. Jackson sebagai Grover
Jake Abel sebagai Luke
Anthony Head sebagai Chiron
Stanley Tucci sebagai Mr. D
Director:
Merupakan feature film ketiga bagi Thor Freudenthal setelah Diary of a Wimpy Kid (2010).
W For Words:
Jika sebuah
franchise fiksi laris semacam Percy Jackson & the Olympians karya Rick
Riordan sudah menelurkan adaptasi layar lebar pertamanya di tahun 2010 lalu
yang berkualitas standar, maka pilihan ada di tangan anda untuk tetap mengikuti
sekuelnya atau berhenti begitu saja. Namun yang jelas kolaborasi Fox 2000
Pictures, 1492 Pictures, Sunswept Entertainment dan lain-lain masih tetap
percaya diri untuk merilisnya di akhir musim panas tahun 2013 ini. Tentunya
masih dengan dukungan aktor-aktris yang sama meski terjadi pergantian di tampuk
sutradara dari sebelumnya Chris Columbus.
Kepopuleran Percy Jackson perlahan merosot digantikan oleh putri Ares, Clarisse yang cantik dan
cekatan. Saat camp Half-Blood diserang Colchis Bulls, Percy berhasil menaklukkannya.
Sayang pohon Thalia yang menjadi pertahanan mereka tumbang. Tugas Percy bersama
dua sobat karibnya Annabeth dan Grover beserta saudaranya si mata satu Tyson
bertekad mencari Golden Fleece meskipun harus bersaing dengan Luke Castellan dan
kawanannya yang berniat membangkitkan Kronos. Misi mengarungi Segitiga Bermuda
yang misterius dan berbahaya pun dimulai.

Skrip yang ditulis oleh Marc Guggenheim ini memang terasa mengecilkan ‘skala’
dari apa yang sebelumnya dikerjakan oleh Craig Titley. Bukan hanya itu, mitologi
Yunani yang kental di prekuelnya memang terasa mengalami deviasi. Tidak
sepenuhnya salah karena Riordan sendiri lebih memfokuskan diri pada masa remaja
Percy yang naik turun termasuk menghadapi persaingan ataupun penerimaan
kenyataan yang amat bergantung pada tingkat kedewasaannya. Ia pun lebih dituntut
menggunakan instingnya saat berjuang sendiri tanpa mengandalkan embel-embel
yang mengikuti namanya.
Kinerja Freudenthal secara keseluruhan harus diakui tampak lebih memihak
anak-anak dan remaja dibandingkan penonton dewasa. Efek CGI nya cukup memukau,
menjadi nilai plus bagi penonton yang berkesempatan menyaksikannya dalam format
3D (atau bahkan 4DX yang teaternya baru dibuka di Blitzmegaplex Grand
Indonesia). Variasi setting yang sebetulnya megah dan detil tersebut seakan
sia-sia karena babak demi babak bergulir nyaris tanpa kesan berarti. Kepedulian
penonton untuk mau mengenal apalagi mengikuti perjalanan para tokohnya dari
awal sampai akhir menjadi minim.

Seperti fungsi karakternya dalam episode ini, Lerman menokohkan Percy lebih
dari sisi dramatiknya menghadapi situasi-situasi tak terduga daripada
heroiknya. Daddario dan Jackson terkesan terlalu karikatural sebagai supporting
act. Sangat predictable. Sama halnya dengan Abel sebagai antagonis mudanya. Munculnya
muka baru Rambin dan Smith tergolong menyegarkan walau tak ada pendalaman
signifikan selain penekanan dua konflik utama yang saya sebutkan di atas.
Fillion, Head ataupun Tucci yang lebih senior juga cuma mendapat screentime yang terbatas.
Percy Jackson : Sea of Monsters jelas bukan seri perbaikan, menyebabkan
franchise ini berada pada lifeline yang kritis untuk diteruskan di masa
mendatang. Namun yang jelas perolehan dollar secara domestik dan internasional
akan lebih menentukan nasib The Titan’s Curse. Sementara itu simaklah terlebih
dahulu berbagai elemen yang sengaja dibangun sebagai jembatan bagi seorang
Percy Jackson meretas takdirnya sebagai putra Poseidon. Some one-liners and few familiar twists along the way might still worked
to keep you excited or even completely swept away under two hours long.
Durasi:
106 menit
U.S. Box Office:
$48,346,000 till
August 2013
Overall:
7 out of 10
Movie-meter: